Jati Diri Peta Jalan Pendidikan

Kemendikbud RI sedang menyusun peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 yang modern, sistimatis, terstruktur, berbasis kondisi saat ini dan bervisi futuristik. Namun demikian, justru menghilangkan jejak langkah, jati diri bangsa, nilai historis, masih terasa kekosongan jiwa, tidak adanya roh dan akar unggulan budaya, religi, nusantara, dan jiwa perjuangan kebangsaan. Pasca reformasi, maka tidak ada lagi Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kebijakan jangka menengah-panjang, sehingga berkesan ganti menteri juga ganti kebijakan.

Pemerintah nampaknya tidak percaya diri dengan modal sosial dan konsep-konsep yang sudah berkembang lama di Indonesia. Lompatan Pendidikan 4.0 yang diselaraskan dengan revolusi industri 4.0, telah dipercepat dengan adanya pembelajaran jarak jauh karena pandemic COVID-19 yang dicirikan dengan pembelajaran daring, kecerdasan buatan, big data, otomatisasi, robotik, jarak jauh, mobile, game, interaktif, futuristik, masa depan. Pendidikan juga masih cenderung diperlakukan sebagaimana pabrik, industri, bisnis, sehingga insan pendidikan seutuhnya yang bersifat hidup, menjadi cenderung impersonal, ego-sentris, kehilangan nilai jiwa sosial, budaya dan kemanusiaan.

Peta jalan ditulis dalam bentuk power point yang ringkas dan mudah dipahami, namun tidak dilengkapi dengan naskah akademik dan rincian pembahasannya. Visi Pendidikan Indonesia untuk menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila sama sekali tidak ditindak lanjuti lebih rinci dengan arahan renstra, renop dan mekanisme untuk mencapainya. Karena lebh menyampaikan uraian, platform, contoh baik, indikator kuantitatif, modern dan futuristik dari luar negeri

Kesalahan dalam perencanaan dan proses pendidikan dapat dengan secara cepat mendapatkan karma buruk dan kerusakan modal sumber daya manusia dan modal sosial bangsa. Sedangkan usaha terstruktur dan tersistem tidak bisa instan memberikan hasil, karena membutuhkan waktu panjang, perlu fokus dan sungguh-sungguh. Pendidikan harus mampu memfasilitasi terciptanya peradaban baru unggul yang menghasilkan insan manusia yang utama, yang berasaskan rasa ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan dan keadilan; dengan mengandalkan modal dasar kebudayaan dan pendidikan.

Konsep peta jalan masa depan dan konsep Merdeka Belajar yang diusulkan masih kental mengacu dan mengunggulkan pada konsep futuristik modern luar negeri. Namun, tidak memperhatikan histori rekam jejak dan peta jalan pendidikan yang pernah dilampaui sejak belum jaman merdeka. Dengan demikian justru malah kehilangan jati diri bangsa, tidak mengacu, apalagi mengakar kuat pada budaya unggulan dan norma yang berkembang pada masyarakat sejak lama. Jejak langkah seabad kiprah Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan sejak tahun 1912, Tamansiswa oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) tahun 1922, Nahdatul Ulama oleh KH Hasyim Ashari tahun 1926 tidak terlalu menjadi pertimbangkan, apalagi menjadi acuan penting, bahkan cenderung diabaikan.

Pendidikan jiwa merdeka oleh KHD untuk menggembleng mental bangsa juga diikuti swadisiplin yang bertanggung jawab, ikut membina hidup tertib damai, salam dan bahagia. Setiap anak mempunyai bakat, talent dan unggulan yang khas, yang berbeda dengan lainnya. Tidak ada seorangpun yang mempunyai karakter khusus yang sama. Untuk itu perlu dididik dengan Sistem Among, agar berkembang mandiri, mampu menentukan nasib sendiri, tidak tergantung perintah, atas kekuatan sendiri, cakap secara tertib dan berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan alam semesta.

Ki Hadjar telah mengembangkan pendidikan kebangsaan berbasis budaya lokal sendiri dengan proses akulturasi seni permainan (Fröbel), panca indera & kemerdekaan (Montessori), wirama (Stiener), seni musik & tari (Dalcroze) dan seni & alam lingkungan (Tagore) sejak seabad lalu. Pendidikan merdeka bertanggung jawab telah dikembangkan KHD sejak puluhan tahun sebelum Indonesia merdeka. Dengan tetap mengelorakan jiwa kebangsaan, berakar kuat pada budaya luhur bangsa, dan mengakulturasikan sistem pendidikan unggulan dunia. Kalau sekarang pemerintah masih belanja masalah pendidikan masa depan dari berbagai manca negara dan memformulasi kebijakan pendidikan nasional mulai dari awal lagi, tanpa memperhatikan sejarah, maka berarti terjadi kemunduran seabad juga.

Ki Hadjar menyampaikan perlunya sifat, bentuk, isi, laku hidup dan kehidupan sendiri, jangan berupa tiruan dari asing belaka. Konsep-konsep pendidikan karakter khas unggulan nusantara harus tetap dipertahankan, diperkaya, dan disempurnakan agar menjadi acuan renaisans pendidikan generasi Indonesia emas. Bukan memulai kompilasi contoh keberhasilan manca negara dari awal lagi. Pendidikan nasional harus mampu membentuk Jalma kang Utama padagenerasi Indonesia Emasyang modern futuristik, namun tetap mempunyai roh dan jati diri bangsa Indonesia, dengan berakar kuat pada budaya luhur nusantara sendiri.

Penulis : Prof. Dr. Cahyono Agus
Sumber : https://acahyono.staff.ugm.ac.id/

Anak Indonesia dan Urgensi Pendidikan Perdamaian

Setiap 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN) di Indonesia. Pada 2021 HAN diperingati dengan tema Anak terlindungi, Indonesia maju. HAN kali ini mengingatkan kita mengenai urgensi untuk melindungi dan membekali anak-anak Indonesia agar siap menghadapi tantangan masa depan serta memajukan kualitas hidup bangsa.

Usaha mendampingi anak-anak Indonesia mempersiapkan diri untuk masa depan dalam dua tahun ini dihadapkan pada tantangan berupa pandemi yang disebabkan penyebaran masif covid-19. Sebuah tantangan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya dan tiba-tiba terjadi dalam hidup kita. Dampak dari pandemi ini setiap orang dipaksa untuk mengubah dan menyesuaikan hidup, tidak terkecuali dengan kehidupan anak-anak kita.

Kegiatan anak mengalami perubahan dan penyesuaian. Kegiatan belajar formal saat ini sebagian besar tidak lagi dilaksanakan di gedung sekolah, tetapi di rumah. Proses sosialisasi dengan teman dan lingkungan sekeliling juga berubah dan dibatasi hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Anak harus dilindungi dari bahaya pandemi, tetapi pada saat yang sama perlu tetap mendapat bekal untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan.

Apa yang harus kita siapkan sebagai bekal untuk anak-anak kita, sementara kita tidak tahu tantangan apa yang akan mereka hadapi di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan ini, salah satu cara yang bisa digunakan ialah melihatnya dari sudut pandang pendidikan perdamaian.

Arti perdamaian
Kata perdamaian bagi sebagian orang mungkin diasosiasikan dengan kata perang. Damai sebagai lawan dari perang dan damai ialah situasi yang terwujud ketika perang usai. Di konteks yang berbeda, di tempat orang-orang yang belum pernah merasakan perang, mereka mungkin mengasosiasikan kata damai dengan kedamaian dalam diri atau inner peace. Mereka melihat damai sebagai situasi ketika diri merasakan ketenangan karena mampu mengelola masalah-masalah personal.

Cara pandang terhadap perdamaian di atas tidak ada yang salah karena pengalaman tiap orang membentuk pemahaman berbeda terhadap perdamaian, tetapi pemahaman yang kontekstual tersebut mungkin tidak cukup lengkap untuk melingkupi situasi-situasi lain yang juga terkait dengan perdamaian. Johan Galtung (1969) menawarkan konsep perdamaian yang membahas bukan hanya keadaan yang terlihat di permukaan, melainkan juga jauh ke akarnya sehingga situasi damai diartikan sebagai keadaan ketika akar masalah, yang biasanya terkait dengan ketidakadilan sosial, dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam situasi pandemi ini, berbagai masalah ketidakadilan sosial terangkat ke permukaan dan terlihat jelas. Layanan kesehatan yang terbatas, akses pendidikan yang terganggu, diskriminasi, akses ke pekerjaan untuk mendapat penghasilan, dan kesenjangan ekonomi yang memengaruhi akses masyarakat ke layanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya ialah beberapa contohnya.

Pandemi menunjukkan kepada kita bahwa, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia, permasalahan ketidakadilan sosial terjadi secara nyata dan memengaruhi keberlangsungan hidup umat manusia. Mereka yang sakit dan akhirnya meninggal ternyata bukan disebabkan penyakit yang diderita mereka saja, melainkan juga dipengaruhi berbagai situasi dan akses yang tidak bisa mereka miliki dan dapatkan.

Pendidikan perdamaian
Penderitaan masyarakat di masa pandemi tidak boleh terulang di masa depan. Karena itulah, anak-anak kita perlu memiliki persiapan yang baik dengan pendidikan yang membekali mereka pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang mampu mengatasi masalah-masalah ketidakadilan sosial. Dengan demikian, manusia bisa hidup secara damai dan terpenuhi hak-hak dasarnya.

Dengan mengacu pada pengertian perdamaian seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pendidikan perdamaian dapat diartikan sebagai proses untuk mempromosikan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang diperlukan untuk mengubah perilaku pembelajar, baik itu anak-anak, orang muda, maupun orang dewasa, sehingga mereka mampu mencegah konflik kekerasan yang terbuka maupun terstruktur, menyelesaikan konflik secara nirkekerasan, dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk perdamaian dalam tingkat individu, antarindividu, antarkelompok, nasional, dan internasional (Fountain, 1999).

Pendidikan perdamaian juga melingkupi topik yang luas. Toh dan Floresca-Cawagas (2017) menawarkan enam tema besar, yaitu peniadaan budaya perang, hidup adil dan penuh kasih, membangun penghormatan budaya, rekonsiliasi dan solidaritas, promosi hak asasi manusia dan tanggung jawab yang menyertainya, hidup berdampingan dengan alam, dan menumbuhkan kedamaian diri. Enam tema tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan penting untuk pendidikan perdamaian.

Pengetahuan yang diajarkan dalam pendidikan perdamaian di antaranya pengetahuan mengenai konsep perdamaian, konflik, kekerasan, nirkekerasan, identitas, pemahaman diri, dan pembangunan yang berkelanjutan. Nilai-nilai damai yang ingin ditumbuhkan antara lain meliputi penghormatan, kesabaran, keberanian, tanggung jawab, komitmen, dan transparansi. Keterampilan yang perlu dimiliki pembelajar pendidikan perdamaian di antaranya refleksi, empati, berpikir kritis, kreativitas, pengambilan keputusan, dan komunikasi.

Pengetahuan, nilai, dan keterampilan tersebut ialah hal-hal dasar yang perlu dimiliki dan digunakan tiap orang ketika mereka menghadapi tantangan, apa pun itu bentuknya, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang baik. Keputusan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga untuk seluruh makhluk tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki.

Lalu, apakah pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita sudah secara eksplisit memberikan hal-hal tersebut di atas? Apakah anak-anak kita sudah mendapat bekal yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan? Jika jawabannya belum, mungkin inilah waktunya bagi kita untuk memperbaiki sistem pendidikan kita.

Sudah bukan masanya kita melaksanakan sistem pendidikan yang hanya membuat anak-anak kita menjadi kompetitif untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan diri dan kelompok, atau pendidikan yang membekali anak-anak kita dengan keterampilan yang bertujuan agar mereka terserap dalam pasar tenaga kerja saja. Anak-anak kita berhak dan harus mendapatkan pendidikan yang lebih baik, yang mempersiapkan mereka menjadi manusia-manusia yang mampu berpikir dan bertindak untuk kebaikan bersama, untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian bagi seluruh makhluk tanpa batas.

Penulis : Dody Wibowo
Sumber: https://mediaindonesia.com/